Minggu, 14 Juni 2015

Lemon Cui, Si Mungil yang Terabaikan.




Kurang dimanfaatkan, Pertumbuhannya Pun Sangat Mubazir

Bentuknya kecil dan bulat, tapi siapa yang menyangka, jika bentuknya seperti itu, mempunyai tingkat keasaman yang tinggi. Tentunya, pembaca pernah mendengar, kalau di Jepang,  cara mereka memasak ikan, cukup merendamnya dengan cairan asam. Maka, tidak membutuhkan waktu lama untuk  menunggu, ikan tersebut telah matang, tanpa harus dimasak lagi. Di Negeri Sakura tersebut, makanan ini dinamakan Sashimi. Apakah anda tahu cairan asam yang digunakan untuk mematangkan ikan tersebut?, cairan itu berasal dari sari Lemon Cui, yang pertumbuhannya banyak dijumpai di Provinsi Maluku Utara.
Lemon Cui, memiliki nama latin Citrus Microcarpa, lemon ini mempunyai nama yang berbeda di setiap daerah. Di Manado, Lemon ini disebut Lemon Kasturi, masyarakat Maluku Utara menyebutnya Lemon Ikan, karena pada umumnya, lemon ini digunakan sebagai penghilang bau amis pada ikan.
Lemon Cui berbentuk bulat mungil, dengan diameter 2-3,5cm, seukuran jeruk nipis, namun lemon ini diperkaya dengan cita rasa yang sangat asam. Kandungan Lemon Cui, kaya akan Vitamin C, sehingga berperan sebagai antioksidan, untuk mengatasi dan menstabilkan radikal bebas, serta dapat mencegah kerusakan tubuh dan kulit, serta memiliki banyak kalsium.
Jika masih muda, lemon ini berwarna hijau, dan kandungan air lemonnya masih kuat, dan  mulai menguning, jika telah tua. Pohon Lemon Cui begitu sangat  produktif, dan mampu berbuah sepanjang musim, tinggi pohon ini mencapai 3-5 m, daunnya berbentuk lonjong.Pohon Lemon Cui, tumbuh hampir diseluruh rumah-rumah warga, yang bermukim di Kabupaten Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara. Namun yang sangat disayangkan, karena produktifitas Lemon Cui yang terus berbuah sepanjang musim, menjadikan buah Lemon ini sangat mubazir. Berdasarkan pengamatan kami, jika buah Lemon yang telah tua, ditandai dengan warnanya telah menguning, masyarakat hanya membiarkannya saja berjatuhan dan berserakan di tanah. Hal ini dikarenakan, Lemon cui yang telah tua,  jarang digunakan, bahkan malah dianggap sebagai limbah. Jika buah yang telah berserakan tersebut, telah mengotori halaman rumah, seantusias mungkin warga akan memungut lemon cui, lalu dimasukkan dalam tempat sampah. sebab, kebutuhan masyarakat setempat, hanya menggunakan Lemon ini, sebagai penghilang rasa amis ikan, ataupun digunakan untuk membuat Gohu, sejenis Sashimiyakni ikan mentah yang dicampurkan dengan perasan jeruk Lemon Cui, hanya sekedarnya saja, sehingga tidak membutuhkan buah Lemon yang terlalu banyak.
“Manfaatkanlah potensi yang ada, maka disitulah terdapat peluang, untuk mendapatkan uang”. Jika dibaca sepintas, kalimat diatas menggambarkan kepada kita, bahwa mendapatkan uang, cukup dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki suatu tempat, dimana kita berada. Kalimat tersebut, kalau melihat dari kacamata orang yang berjiwa wirausahawan, pasti tidak akan asing lagi. Sebab, orang wirausahawan akan melihat suatu potensi tempat dia berada, sebagai lahan untuk menghasilkan uang. Jika dihubungkan dengan potensi pertumbuhan lemon cui diatas, yang begitu produktif, namun terbilang mubazir dikalangan masyarakat, maka apa salahnya, jika potensi lemon cui tersebut, dapat dimanfaatkan keberadaannya, sehingga lebih bernilai ekonomis. Seperti membangun kelompok usaha masyarakat, dalam bentuk produk usaha rumah tangga, dengan mengelolanya menjadi cuka penyedap makanan, cuka penyegar ikan, sirup lemon cui dan sari lemon cui.
Di Kabupaten Halmahera Barat, Lembaga yang konsisten memanfaatkan Lemon Cui, menjadi produk ekonomis, seperti Sirup dan Sari Lemon Cui, adalah Sekolah Tinggi Pertanian Kewirausahaan (STPK) Banau. Sejak tahun 2010, lembaga pendidikan swasta ini telah beberapa kali melakukan eksperimen, untuk mengelola Lemon Cui, menjadi Sirup dan Sari Lemon. Dalam waktu 4 tahun tersebut, kini Sirup dan Sari Lemon Cui telah dapat dinikmati dalam bentuk minuman segar, yang dikemas dalam bentuk botok plastik, serta telah mendapatkan izin produksi rumah tangga dan kesehatan produk, dari Dinas Kesehatan setempat.
Berdasarkan resep pengeloloaan Lemon Cui menjadi Sirup dan Sari, dari STPK Banau,  ternyata tidak butuh banyak bahan yang diperlukan, untuk memanfaatkannya. Hanya membutuhkan beberapa kilogram gula pasir, alat penyaring santan kelapa, alat perasan lemon, belanga, kompor dan menyiapkan botol kemasan plastik (dapat menggunakan botol kemasan baru, yang bisa didapatkan di swalayan terdekat, atau dapat menggunakan botol bekas, dengan menjamin nilai kehigienisannya), serta label kemasan.
Cara membuatnya, terlebih dahulu mengambil sari lemon, dengan memeras lemon cui dan menyaringnya, sehingga terpisalah antara ampas lemon dan bijinya. Kemudian perasan air lemon, direbus hingga mendidih bersamaan dengan gula. Perlu catatan bahwa, setiap 1 liter air lemon, ukuran campuran gula pasir adalah 3 kg, sehingga jikalau 5 liter lemon cui yang direbus, maka dicampurkan dengan 15 kg gula pasir.
Mengenai penggunaan takaran 3 kg gula dengan 1 liter air lemon, dikarenakan kandungan air lemon cui yang begitu asam, harus dinetralisir dengan gula yang banyak. Hal ini juga dikarenakan, penyesuaian rasanya dengan lidah masyarakat yang menetap di tanah Moloku Kie Raha (Negeri 4 Sultan). Dalam tahap ini, pembuatan sirup lemon cui telah selesai, dan siap dikemas.
Jika ingin mengubah Sirup menjadi Sari Lemon, maka cukup mencampurkan 1 liter sirup lemon cui, dengan 6 liter air, lalu diaduk hingga merata dan tercampur dengan baik. Sampai tahap ini, Sari Lemon Cui yang telah jadi, telah siap untuk dipacking dalam bentuk kemasan botol plastik (bentuk kemasannya dapat berbeda, tergantung dari kelompok wirausahawannya). Setelah itu, botol kemasan ditempelkan label produk usaha, dan siap dijual dengan kisaran harga Rp. 5.000.
Sampai sejauh ini, apakah anda mau menciptakan lapangan kerja sendiri, dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam yang ada?, sudah seharusnya anda mengatakan IYA, SAYA MAU.Sebab, dengan berwirausaha, kita dapat menghasilkan pendapatan yang lebih, dan dapat mendukung pemerintah untuk mengurangi angka pengangguran. Karena, kita dapat membuka lapangan kerja, bagi orang lain.

Senin, 08 Juni 2015

Renang Gaya Batu (Sesi II)



Awal Kuliah, Bangun Lebih Awal !

            Waktu sudah menunjukkan pukul 04.30 Wita, terdengar nada  dari sebuah Hand Phone, yang terletak di atas meja, berdekatan dengan sebuah bingkai foto yang berukuran 10 R. di foto itu terlihat seorang lelaki remaja berumur 18 tahun, sedang tersenyum lebar sambil memakai kacamata hitam, mengenakan kaus jangkis berwarna biru, dan memakai celana jeans model botol, kakinya dibungkus dengan sepatu berwarna hitam dengan pinggiran putih. Mengenai model celana botol, pertama kali diperkenalkan oleh Vokalis Band Ungu “Pasha” saat mereka menggelar konser. Biasanya celana jeans tersebut berbentuk longgar bagian atas, namun perlahan turun ke kaki, ukurannya mulai mengecil. Bukan cuma celananya, tapi potongan rambutnya juga bergaya Mohawk Jabrik ala Pasha Ungu, yups anak muda ini memang mengidolakan Pasha, selain menyukai lagu-lagu dan suaranya, vokalis Ungu tersebut merupakan penyanyi yang berasal dari Palu, Sulawesi Tengah. Terus, siapakah anak remaja ini?,
kerasnya nada alarm bersuarakan dering Sponge Bob Square Pant’s, seakan menghapuskan kegelisahan hati yang dirasakan oleh seseorang yang sama sekali tidak bisa tidur. Lantas, dengan gerakan sigap, dimatikannya nada alarm tadi yang bersumber dari sebuah Hp. ya benar!, anak remaja yang berada di foto itu, adalah saya sendiri.
            Perkenalkan, nama saya Mohammad Iqbal, biasa disapa Iki. Saya merupakan anak kedua dari 4 bersaudara, terdiri dari 3 orang laki-laki, dan satu perempuan bernama Fathunnur dipanggil Ilun, dia anak yang bungsu. Sayang, adik saya yang perempuan sudah berpulang kepangkuan Allah Swt, pada tahun 2005 silam, saat usianya baru 4 tahun. Kakak saya bernama Fathurrahman, hanya berbeda satu tahun sama saya, dan adikku yang ketiga bernama Rahmat Izzati, biasa disapa Ija, berbeda 5 tahunan dari usiaku. Coba tebak, siapa diantara kedua saudaraku, yang bisa berenang ?? Yaa benar! kalian semuanya pintar, pasti kalian rajin belajar dengan menyimak secara seksama tulisan ini dari awal cerita sebelumnya. Nanti hadiahnya ambil di kios-kios terdekat ya, hehehe :p. hmmm,, dengan perasaan yang tidak mengenakkan, saya harus mengakui bahwa kami sekeluarga semuanya tidak bisa berenang.
            Meskipun saya anak kedua, tapi para tetanggaku malah manggil saya anak tertua. Bukan karena berperawakan tua, tapi karena saya mempunyai gesture badan yang lebih besar dari kakak pertamaku, yang memiliki badan kurus dan kecil. Nah, panggilan anak tertua sudah melekat pada sapaan saya tiap harinya, bahkan saking tuanya, adik saya yang bungsu, sering manggil saya Bapak!.

Suasana subuh di bulan juni tahun 2009 saat itu, memang terlihat sangat special bagiku, selain panorama subuh yang disajikan begitu mengesankan, namun ada hal lain yang membuat diriku bahagia, sehingga rasa itu membuatku gelisah, sampai-sampai rasa tersebut mengganggu tidurku. Hari ini adalah awal saya masuk kuliah, hari dimana semua cerita dan pengalaman indah, mulai akan ku goreskan dalam tulisan indah, dalam setiap lembaran kertas hidupku.
setelah ku menjalankan ibadah Shalat Subuh, yang di imami langsung oleh papa saya, ku langsung bergegas menuju kamar mandi, dengan penuh semangat, saya melepas satu persatu pakaian yang menutupi badan, tidak berlangsung lama, saya langsung mengambil gayung untuk disiramkankan dari ujung kaki ke ujung kepala, eeh kebalik ya, disiramkan dari ujung rambut ke ujung kaki. rasa dingin yang sudah pasti menghampiri, tidak kuperdulikan meskipun tidak biasanya saya mandi pagi. Tapi sial, setelah Palo-palo (gayung) ku kibas-kibaskan untuk mengambil air dalam bak, rasanya kok lebih ringan dan hampa. ternyata air yang dalam bak habis! Langsung saja dengan spontan, ku langsung memakai handuk,  serta segera keluar dari WC, dan menanyakan hal ini kepada mama saya.
“ma, air mati kah, itu tidak ada ditampung dalam bak”,tanyaku dengan nada halus.
“memang kalau pagi air tidak jalan, makanya kalau sudah sore air ditampung memang banyak-banyak, timba air di sumur sudah,,” sahut Mama ku sambil memarahi, tapi mamaku setiap kali marah pasti langsung memberikan solusi.     
dengan penuh keterpaksaan dan kerelaan, ku haruskan untuk mengambil air di sumur, ya meskipun sumur tetangga. Sebagai anak desa, keahlian untuk menimba air disumur itu sudah tidak diragukan lagi, cukup 3 kali timba saja, air sudah penuh dalam ember. Satu lagi nikmatnya kalau tinggal di Desa, yakni semua masyarakat saling menganggap keluarga, sehingga saya tidak perlu sungkan-sungkan untuk menimba air di sumur itu, dan sekalian mandi lagi.
            Setelah aktivitas pagi yang merepotkan, saya sudah bersiap-siap untuk berangkat menuju kampus, tentunya sudah selesai dengan urusan fashion. Mumpung hari pertama kuliah, tentunya saya menggunakan banyak =aksesoris, untuk mendukung penampilan saya. Diantaranya, topi gaul berbentuk segitiga pada bagian atasnya, ujungnya melebar dan bundar, terbuat dari jerami, lagi trend dikalangan petani yang mau turun ke Sawah. Saya tidak mengetahui nama topi tersebut dalam bahasa Indonesia, tapi kalau dalam bahasa Kaili, disebut Toru. Nah silahkan saja terjemahkan nama Toru tersebut kedalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah kalian masing-masing.
            Aksesoris berikutnya yang kupakai, tidak kalah menterengnya, yakni menggantungkan jagung muda di leher dan sebelumnya telah diikatkan dengan tali raffia, sebagai pengganti dasi, serta menggantukan papan kesalahan yang dibuat dari sisa dos bekas dan dibungkus dengan kertas HVS putih. Mengenai kain yang menutupi badan, ku menggunakan pakaian kemeja berwarna putih, ujung baju di isi kedalam celana kain berwan hitam. Untuk ban pinggannya diikatkan dengan tali rafia, serta kedua sisinya digantungkan pula dua buah kaleng susu bekas, dan di isi uang koin Rp 1000, diletakkan di pinggul kiri dan kanan, sehngga kalau berjalan sudah menghasilkan bunyi seperti lonceng kambing. Sampai sepatu pun tidak kalah berbeda, tali sepatu diganti dengan menggunakan tali rafia denga selingan warna yang berbeda.
            Kalau melihat dari aksesoris yang saya gunakan, pastilah bagi kalian yang sudah mengenyam bangku pendidikan sekolah, pasti mengetahui bahwa pada pagi itu, saya masih dalam tahap proses masuk dalam dunia kemahasiswaan. Salah satu tahapnya adalah dengan mengikuti Orientasi Pengenalan Akademik (OPAK), di Kampus Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Datokarama Palu, salah satu kampus Favorite bagi masyarakat di Sulawesi Tengah.   
            Luapan rasa lucu, membuatku sekali-sekali tersenyum jika melihat penampilanku semacam badut jalanan, wajar jika Papa saya  malah berkomentar kalau masa Orientasi, merupakan ajang pembodohan dan penindasan, karena banyak hal-hal aneh dan tidak masuk akal diajarkan, serta tidak ada hubungannya dengan pendidikan yang baik dan benar.
“eeh, itu nak, disuru-suru pakai yang aneh-aneh begitu, apakah dengan memakai pakaian begitu, otak bisa dengan mudah terima pelajaran?, dalam agama Islam kan tidak harus berpenampilan seperti itu?”, gerutu Papaku sambil menasehati.
Mendengar nasihat itu, saya langsung menjawab, “saya juga tidak tau le Papa, nanti saya jalani saja dulu, prosesnya seperti apa, siapa tau setelah menjalani, akan saya dapatkan jawabannya,” jelasku.
“oh iya dan, semoga bisa dapat dan memetik hikmahnya”, sambung Papaku menasehati. Setelah itu, ku meminta pamit kepada keduanya, sambil mencium kedua tangan mereka, agar selama perjalananku menuntu ilmu, selalu mendapatkan kemudahan dan berkah dari Allah SWT. Amin.        

Jumat, 29 Mei 2015

Mulai Perbaiki Amal, Setelah Hampir Tenggelam



Bismillahirrahmanirrahim….

Sebenarnya belum ada niat untuk berenang pada Sore itu, Sabtu 14 Maret 2015. Karena ajakan teman-teman, hingga ku memutuskan untuk pergi ke Pantai, meskipun ku merasakan sakit kepala yang tadinya membuatku hanya berbaring seharian di kamar, karena sakitnya begitu terasa dibagian belakang kiri dan kanan kepala. Sebenarnya, ajakan mereka telah ku tolak, agar saya tidak mau untuk pergi. Namun ada satu alasan yang membuat saya tidak bisa untuk menolaknya, karena disana ada cewek-cewek. Ya benar, kerena bagiku perempuan memang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan seorang laki-laki yang berpredikat bujang (bukan bagi yang sudah mempunyai istri dan anak lho, ingat itu baik-baik!). 

Bermodalkan alasan itulah, saya memutuskan untuk pergi ke Pantai, walaupun rasa sakit di kepala tidak lagi saya hiraukan. Berbekal candaan bersama kawan-kawan di perjalanan, melewati rindangnya pohon Pala dan pohon cengkeh (inilah alasan mengapa para penjajah Eropa dahulu, datang di Maluku Utara, untuk menguasai rempah-rempah). Maka sampailah pada inti pembicaraan kami, mengenai ide jitu, agar  kami yang berjumlah 10 orang, bisa mencuri perhatian cewek-cewek yang sudah berada di Pantai untuk melepaskan penat mereka, meskipun kami sama sekali belum mengenal siapa mereka. Maklum, tempat kami Desa Bobanehena Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat, merupakan Desa yang dipersiapkan menjadi tempat pariwisata sehingga, sarana dan prasarana yang berada disana, masih dalam tahap  renovasi lokasi, namun beberapa gazebo dan tempat santai lainnya sudah dapat dinikmati oleh pengunjung, walaupun hanya sekedar berenang dalam hamparan air lautan yang jernih dan tak berombak (karena tempat ini masuk dalam daerah teluk Jailolo), ataupun bagi yang suka Snorkeling (selam permukaan) dan Diving (menyelam), disini terdapat keindahan terumbu karang yang berukuran kecil dan besar, sehingga anda dapat menikmatinya bersamaan dengan beraneka jenis ikan-ikan yang berenang, bagaikan di Aquarium.
Singkat cerita, sampailah kami di Pantai, mataku sedari tadi memandang setiap sudut lokasi, mencari sosok mahluk halus, (mahluk Tuhan yang paling sexy maksudnya :D), tapi sedari itupula, mataku tidak bisa menangkap objek kaum Hawa. Proses pencarianku akhirnya menemukan hasil, setelah teman saya bernama Nandar, memberikan kode kepadaku dengan menepuk bahu, bahwasannya dia telah melihat objek yang dituju, dan ternyata memang benar, cewek-cewek tersebut berjumlah 4 orang, dan mereka berada di atas perahu milik salah satu anak-anak yang kebetulan berada di Pantai itu. Cewek berempat tersebut dan ditemani salah satu anak pemilik perahu,  sedang menuju ke Niku Lamo (bahasa Ternate; artinnya Karang Besar), sekitar 50 meter dari Jembatan Gazebo.  Kami pun yang masih berada di tanjung, segera menuju ke Jembatan Gazebo untuk melihat secara jelas rupa dari keempat wanita yang berada disana. 

Karena melihat dari sudut pandang yang kejauhan, sehingga objek yang terekam oleh mata, hanyalah postur tubuh dan baju yang dikenakan oleh wanita disana. Terlintas suatu ide yang kebetulan menurut saya sangat cemerlang, dari teman saya bernama Daus, bahwa kami semua harus berenang menuju ke Niku Lamo, agar bisa melihat secara jelas perawakan wanita yang berada disana, serta dapat mengenal mereka. Berbekal kemahiran berenang, dan sudah seringnya kami melakukan Snorkelling di area Niku Lamo, sehingga tidak menjadi masalah bagiku untuk menyetujui ajakan Daus. Tidak berselang lama, satu persatu temanku langsung membuka baju dan melompat dari gazebo menuju dalamnya air garam.
                Melihat begitu ramainya kami terjun ke Laut, membuat anak-anak kecil berusia 10 tahunan, yang sedari tadi berada di Pantai, mulai mengikuti rekan-rekan saya menuju ke Niku Lamo. Yaa benar, orang-orang yang tinggal di pesisir pantai, pasti sedari kecil sudah bisa berenang, termasuk saya sendiri. Anak-anak kecil itu berenang dengan semangatnya, dimulai dari melompat dari gazebo dan meluncur masuk kedalam air, lalu kembali menuju kepermukaan air dan mengapung, serta berenang menjauh dari kami. Adapula anak bertubuh mungil yang melompat, sambil membuang bola kaki plastiknya, lalu dia menyusul dengan menyeburkan dirinya ke Laut. Hal itu membuatku yang masih berada di atas Gazebo, langsung melepaskan tawa seketika melihat aksi kocaknya, begitupula dengan cewek-cewek yang berada kejauhan di atas perahu, terlihat mereka tertawa geli menyaksikan anak kecil tersebut bisa berenang dengan begitu mudahnya, tanpa takut tenggelam.

                Usai tertawa dan menyaksikan aksi kocak anak-anak tersebut, maka saya segera memutuskan untuk menyusul teman-temanku, yang sudah lebih dahulu berenang menuju Niku Lamo. Langsung saja saya melepaskan baju, dengan harapan bentuk badan L-Men ku, bisa menarik perhatian para wanita, seperti yang telah dicontohkan oleh iklan-iklan di TV (ehmm,, korban komersialisme). Dengan penuh rasa bangga dan percaya diri, maka segeralah saya mengambil posisi strategis, kemudian berlari dari gazebo menuju ujung jembatan. Seketika itu saya melakukan lompatan indah, berupa salto belakang sebanyak 2 kali putaran, dan Pluuunnngg,, saya sudah berada di dasar air, namun itu itu tidak masalah, karena saya segera menuju kepermukaan, dengan mengipaskan sedikit tangan dan mengayunkan kaki, maka seketika itupula saya sudah berada di atas permukaan air.
                Semangatku makin membara, ketika mataku menangkap reaksi dari wajah para gadis-gadis disana, setelah melihat aksiku tadi. Mereka seperti terhipnotis dan langsung saja klepek-klepek (ebeh, mulai lagi narsis deh,,!), hal itu membuatku langsung berenang gaya bebas, karena sudah tidak sabar menyusul teman-temanku yang baru saja sampai di atas karang itu. Puas dengan gaya bebas, maka mulai lagi saya merubahnya dengan gaya Butterfly (kupu-kupu), demi mencuri perhatian dari cewek-cewek disana. Seperdua jarak menuju Niku Lamo, saya menggati posisi renang dengan gaya dada, spontan saja mata saya terus memperhatikan gerak-gerik dari cewek disana, yang justru mulai sibuk meladeni ajakan pembicaraan dari teman-teman saya, yang berdiri diatas permukaan karang, sehingga air laut hanya berada diatas perut mereka.

                Karena kurang konsentrasi, perlahan-lahan aktivitas renang dengan gaya yang berlebihan, membuatku tidak mulai stabil. Rasa lelah mulai menghampiri, perasaan cemas karena belum sampai ketujuan telah terbayang di Kepala, namun rasa letih itu segera kutaktisi dengan cara membalikkan badan, sehingga posisi wajah dan perut menghadap kelangit, hal ini membuat tubuhku mulai terapung meskipun tanpa digerakkan sedikitpun. Tehnik ini digunakan apabila perenang merasakan keletihan dan bisa mengambil nafas serta mengembalikkan tenaga yang sudah terbuang. 

                Lima meter mendekati Niku Lamo, hal yang tidak terduga terjadi. Karena posisi saya pada saat itu sudah memasuki tengah lautan, maka pergerakan ombak mulai membesar, sehingga percikan ombak itu masuk kedalam hidung, serta mengagetkan disaat saya sedang bersantai. Sontak, karena air yang masuk ke hidung, membuat saya sakit kepala yang saya derita sejak awal, mulai terasa membebani dan menjadi-jadi, apalagi air garam yang masuk ke hidung, membuatku sulit untuk bernafas. Lantas, karena panik dan mata dengan spontan saya tutup karena menahan rasa sakit di kepala, membuat saya lupa telah membuka mulut yang lebar-lebar. Karena berada dalam posisi saat itu, membuat air laut dengan mudah masuk kedalam mulutku, dan seketika itulah saya langsung berada dalam tekanan yang sangat berbahaya. Meskipun bisa berenang, tapi karena indra penciuman, tenggorokan dan kepala dalam kondisi yang Blank, membuat tangan dan kaki saya tidak bisa berbuat apa-apa, selain melambaikan tangan, agar teman-teman saya dapat melihat apa yang telah saya alami.

                Tidak kuasa bertahan dalam kondisi tertekan, seketika saat itulah saya langsung mengingat bahwa ajal sudah semakin dekat. Badan saya mulai tenggelam, dan mulut saya telah menelan banyak air, namun  saat itu saya masih bisa berdo’a, jika masih bisa diberikan kesempatan hidup oleh Allah SWT, maka saya akan berniat terus menjalankan perintahNya dan menjauhi segala laranganNya, demi menutupi dosa-dosa serta ibadah yang masih bolong. Akhirnya, Do’a saya dalam keadaan terjepit dan hampir mati itulah, dikabulkan oleh sang Pencipta lautan ini, segera 3 orang teman saya yang posisinya tidak  begitu jauh dariku, langsung bergegas menolong. Begitu sigapnya, ketiganya langsung menopangku dengan merangkul dibagian ketiak kiri, kanan dan bagian bawah pantatku, untuk dibawa menuju ke Niku Lamo

Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, telah memberikanku pertolongan untuk hidup”,gumamku dalam hati, setelah kaki ku menginjak di permukaan karang besar yang berdiamater 5 m. perasaan malu yang muncul memang membuatku mati kutu, karena telah melakukan hal memalukan di depan cewek-cewek cantik, padahal maksud hati untuk mengambil hati mereka, tapi ending nya malah membuatku makan hati. Tapi, rasa itu tak kupeduli, karena saya langsung mencari alasan, bahwa  pada saat renang, kaki saya langsung kejang otot, sehingga tidak bisa lagi digerakkan, dan uratnya sangat cepat menuju bagian otot pala-pala. 

Demi menjaga hal yang sama terulang lagi, maka saya memutuskan untuk pulang dengan menaiki perahu, bersamaan dengan 4 orang cewek tersebut, dan satu anak kecil. Terjadi percakapan ringan selama kami berada di atas perahu, tapi pertanyaan yang jawabannya telah sudah saya persiapkan sebelumnya. “kok tadi, kenapa bisa tenggelam..hehehe”begitulah kata mereka sambil tertawa kecil. Ya spotan saja saya mejawab “karena kaki saya tiba-tiba kejang, karena sudah lama tidak berenang, hehe (sambil senyum asam)”. Karena perasaan malu itulah, sampai tibanya kami di jembatan pelabuhan gazebo, hingga kami semua beranjak pulang, tidak ada satupun percakapan yang terlontarkan dari mulut saya dan cewek-cewek  tersebut, apalagi sambil mengetahui nama, nomor Hp dan pin BBM mereka. Siaall..

Tapi dibalik itu semua,  kejadian tersebut membuat saya memetik hikmahnya, bahwa perasaan takabur yang sedari awal telah hinggap di hati saya, membuatku merasakan sudah paling berbangga diri dan merasa ingin lebih hebat dari yang lain, padahal sebelumnya saya lagi menderita sakit kepala, akan tetapi perasaan takabur akan pentingnya berkenalan dengan wanita itulah, membutakan hati dan pikiran saya,, thats great.. so, sobat-sobat semestinya harus menghindari sifat yang demikian. 

Kedua, saya sadar bahwasannya selama ini, masih banyak melakukan dosa, ataupun masih banyak pula kewajiban sebagai seorang muslim, untuk menjalankan ibadah kepada Allah, yang tertunda. Oleh sebab itulah, saya merasakan setelah kejadian tersebut, Allah SWT masih memberikan kesempatan kepadaku, untuk tetap hidup. Alasannya…???, agar saya selaku hamba-Nya, masih diberikan kesempatan untuk memperbaiki dan memperbanyak amal shaleh. Mungkin, kalau saat itu saya telah is Dead, maka bekal apa yang akan kita bawa menuju akhirat nanti..???

Olehnya cerita ini, telah menjadi pelajaran bermakna bagi saya, dan dengan penuh harapan bisa menjadi cambukan motivasi kawan-kawan semua, agar selau mengingat bahwa peranan Allah dalam kehidupan kita, sangatlah nyata. Sehingga kita jangan sampai melupakan kewajiban yang harus kita laksanakan kepada-Nya, demi menjadi sebuah bekal, yang dapat kita semua persiapkan menuju Akhirat nanti. Wassalam,,,!   
         

Minggu, 03 Mei 2015

Renang Gaya Batu (Sesi 1)



Gara-Gara Ortu Phobia Air Laut

Pada awalnya, saya merasakan bahwa berenang, merupakan suatu kemahiran yang tidak semua orang bisa melakukannya. Anggapan ini saya simpulkan, karena berkaca kepada pengalaman Papa dan Mama saya, keduanya dari kecil sampai  saya memasuki usia ke 24 ditahun 2015 ini, mereka sama sekali tidak tahu bagaimana caranya berenang di air laut dan air tawar. Kalau mengambil contoh dari pengalaman Mama saya, wajar saja kalau Mama saya memang tidak bisa berenang, karena kemahiran seseorang berenang, harus didukung dengan berbagai macam faktor, salah satunya adalah tempat tinggal harus berdekatan dengan pantai.
Nah, ini dia yang menjadi kendalanya, karena Mama saya yang bernama Hj Surimawati S.S, beliau menghabiskan masa kecilnya, tinggal di Desa Binangga, Kecamatan Marawola, Kabupaten  Sigi Provinsi Sulawesi Tengah. Jarak dari Desa Binangga ke tempat rekreasi seperti pantai, cukup jauh. Sebut saja Pantai Tumbelaka di Kelurahan Buluri, Kecamatan Ulujadi Kota Palu, berjarak kurang lebih 15 Km. atau pantai Talise di Kota Palu yang berjarak 13 Km. rentangan jarak yang jauh, antara tempat tinggal dengan pantai, membuat masyarakat yang berada di Desa tersebut, kebanyakan tidak tahu bagaimana caranya menikmati keindahan laut, dengan mengapungkan badan di air garam. Hal ini memang realistis, apabila kalian mengomentarinya dengan asumsi, bahwa jarak 13-15 Km itu masih tergolong dekat, “eeh, apa biasanya kita to kalo nae motoro, jarak 50-60 Km itu kan waktu satu jam saja kita so sampe,, (haha,, maaf gan, itu kalau orang Palu yang bicara, logatnya seperti itu, mudah2an bisa dimengerti yaa,,ok next). Eh iiyomo rangaa, zaman sekarang jarak ratusan kilometer saja, bisa ditempuh dengan waktu yang cepat. Coba bayangkan lebih realistis lagi, bahwa kehidupan orang tua kita dahulu, jarak hanya 13 km itu sudah termasuk jauh, karena harus ditempuh dengan jalan kaki. Kalau sekali duakali menempuh jarak sejauh itu, sepertinya tidak apa-apa, tapi kalau berkali-kali gimana,,? Bisa saja jadinya lutut sudah tidak tahu kalau dirinya lutut, nanti kalau ditanya, “eeh, betulkah kamu lutut,,? Lutut menjawab: bukan, saya tumit kaki.. :D”.
            Kembali kepembicaraan di atas, ternyata bukan hanya Desa tempat tinggal Mama saya saja, yang posisinya jauh dari laut. Sebab, seluruh Desa yang berada di Kabupaten Sigi, itu semuanya tidak berada dalam wilayah pesisir. Wajar saja, karena di Provinsi Sulawesi Tengah, dari 11 Kabupaten dan 1 Kota, satu-satunya Kabupaten yang tidak memiliki bahari, adalah Kabupaten Sigi. Kabupaten lainnya, seperti Donggala yang terkenal dengan wisata pantai pasir putih Tanjung Karangnya, Parigi Moutong yang terkenal dengan Teluk Tomini dengan predikit salah satu jantung karang dunia, kalau tidak ada aral melintang, pada bulan September 2015 mendatang, akan di selenggarakan Festival Sail Tomini di daerah itu. Serta menyusul Poso, Tojo Una-Una, Banggai, Banggai Kepulauan, Morowali, Morowali Utara, Toli-Toli, Buol dan Kota Palu. Tapi jangan anggap remeh dulu, walaupun tidak mempunyai bahari, Kabupaten Sigi menyimpan sejuta kekayaan wisata alam. Bagi kalian yang gemar tour and travel, tidak  akan ada penyesalan, kalau berkunjung ke Taman Nasional Lore Lindu, didalamnya terdapat Cagar Alam megalitikum di Napu, Gunung Nokilalaki, Danau Lindu.  di sisi kiri Kabupaten Sigi, terdapat Air Terjun Wera, air Panas Mantikole, serta wisata paralayang di gunung Matantimali, dan lain sebagainya.
Jadi, dapat diambil kesimpulan kan, kalau Mama saya tidak bisa berenang, itu lantaran kehidupan tempat tinggalnya dulu, memang jauh dari laut. Namun, asumsi tinggal didaerah pantai dapat membuat orang bisa berenang, memang ada benarnya. Akan tetapi, kenapa itu tidak berlaku kepada bapak saya ya?, karena sejak dari kecil, bapak saya itu tinggal di Desa Pesisir, tepatnya Desa Lemo, Kecamatan Ampibabo Kabupaten Parigi Moutong  Provinsi Sulawesi Tengah. Entah apa yang menyebabkan, sampai beliau tidak bisa berenang, mungkin jarang keluar rumah dan kurang pergaulan?, hmm, rasanya juga tidak ya, karena dari kecil, Papa saya disenangi oleh anak-anak kampung dan teman sekolahannya pada waktu itu. Yaa, disenangi lantaran rajin buat Pekerjaan Rumah (PR), Rajin bersih-bersih lingkungan kelas, dan ada satu lagi yang mereka senangi pada Papa saya dulu, yaitu beliau menjadi harapan teman-teman sekelasnya untuk mengisi jadwal Muhadarah (ceramah singkat seperti Kultum), menjelang apel pagi di lingkungan Madrasah Ibtidaiyah Alkhairaat Ampibabo, salah satu sekolah pendidikan Agam Islam yang disebarkan oleh seorang Ulama dari Hadramaut, Yaman, yakni Alm Habib Idrus bin Salim Aljufrie, pada tahun 1930 Masehi. Di Sulawesi Tengah pendidikan keagamaan Alkhairaat, menjadi dambaan bagi masyarakat.
Lantas, apa yang menyebabkan, Papa saya sampai tidak bisa berenang?, jawabannya adalah Phobia, yaitu rasa takut berlebihan yang dialami oleh seseorang, diakibatkan pernah mengalami hal menakutkan yang tidak diinginkan. Ceritanya pada suatu sore, bersama teman-teman sepermainannya, Papa saya pergi mandi-mandi di Pantai. Setibanya di tepi laut, anak-anak desa itu langsung melompat dari batang pohon yang menjulang ke bagian tepi pantai bagian dalam, namun masih bisa dijangkau dengan kaki untuk seukuran tinggi anak-anak umuran 10 tahun. Setelah mereka melompat, tanpa diajarkan secara khusus mengenai tehnik berenang, mereka langsung bisa melakukannya, dengan menggerakan kedua kaki dan mengibaskan tangan dilaut. Mungkin karena badan mereka yang masih ringan, sehingga dapat mengapung dengan mudahnya di air garam. Itulah sebabnya, bagi masyarakat yang tinggal di Pesisir pantai, mereka pandai berenang itu, memang sudah terbiasa mandi di Laut sejak dari kecil.
Kemudian, semua anak-anak yang berjumlahkan 5 orang itu, lompat ke air, nah apa yang terjadi dengan Papa saya?, ketika Jun (panggilan Papa saya sewaktu kecil, nama aslinya ada Drs H Narjun Bamid) melompat, dan seluruh badannya masuk kedalam air, ada satu hal yang lalai dan berakibat fatal dilakukannya. Yaitu sewaktu melompat, beliau mengucapkan kata “aku terbang”, saat Papa saya mengucapkan kata itu, beliau mengucapkannya dengan teriakan suara yang panjang, nadanya seperti ini, áaaku terbaaaaa,,,, “, belum sampai menghabiskan sisa kata-kata tersebut, Jun kecil sudah tercebur kedalam air, karena mengucapkannya terlalu panjang, Papa saya tidak sempat untuk menutup mulutnya. Sehingga air asin dengan mudah masuk kedalam tenggorokannya. Dalam keadaan tertekan seperti itu, perasaan panik mulai menghapiri, was-was dan takut terasa begitu mencekam, karena pandangan saat itu kabur dan perih, nafasnya mulai sesak, walaupun pada saat itu, kakinya menyentuh dasar tepi laut.
Secara spontan! teman-teman bapak Papa saya langsung cepat menolong, dan menariknya untuk cepat berada di tepi Pantai. Tidak ada yang terlalu dikhawatirkan pada kondisi Papa saya, air asin yang masuk memang tidak bisa dikeluarkan, dan Papa saya dalam keadaan sadar, hanya dalam keadaan pucat yang tampak dari perubahan bibirnya menjadi warna putih. Setelah beberapa menit dilalui dengan suasana hening, tidak lama kemudian, tawa dari salah satu anak memecahkan semua tawa teman-temannya. Spontan, Papa saya juga ikut ketawa, tapi gerakan bibirnya hanya mengecil dan lesung pipinya tidak melebar, kalau orang Palu bilang “Nongiri Mpoi (ketawa asam)”. Setelah semua tawa berakhir, Papa saya berpesan, agar kejadian ini jangan sampai diketahui oleh masyarakat kampung, terutama kedua orang tuanya.
Dikarenakan kejadian yang tidak mengenakkan dimasa kecil itulah, sampai saat ini, Papa saya masih saja Phobia,terhadapa  air asin. Tapi anehnya, Papa saya merupakan salah satu orang tua yang hobi “nasanjayo (sejenis Traveller kalau bahasa kerennya)”, beliau merekam dirinya berceramah, dengan dibantu oleh rekannya. Beliau menyampaikan Tausiyah Islami, bertemakan sesuai dengan Background pemandangan alam. Entah itu panorama Gunung, Tebing, Goa, Sungai, Hutan, dan “Pantai”. Hasil dari rekaman tersebut, akan di upload ke Youtube, dengan harapan agar jejaring social tersebut dapat menjadi alternative dakwah, secara cepat kepada orang banyak. Selain itu, berharap agar banyak likers. Hehehe.
Nah guys, jadi kalian dapat simpulkan kan mengapa sampai saat ini, saya belum bisa berenang. Karena, setelah Papa dan Mama saya menikah, pada bulan Mei tahun 1989 lalu,  maka mereka memilih tinggal di Kampung halaman mama saya, sehingga saya dibesarkan disana, yang notabenenya jauh dari laut.  Alasan selanjutnya, karena rasa trauma yang dialami Papa saya dulu, akhirnya saya tidak dipernah diizinkan, kalau ada teman-teman yang mau ngajak rekreasi, kalaupun dizinkan, Papa saya pasti akan ikut, biasanya beliau merogoh  kocek, demi menyeweakan  pakaian pelampung. Jadinya, saya harus nahan diri, dari ejekan teman-teman pada waktu itu.   
Nah, bagaimana caranya sampai saya bisa berenang?, ini kuceritakan kisahku, ikuti terus ya dalam setiap kata-kata, lembar ke lembar. Mantap (y).