Gara-Gara
Ortu Phobia Air Laut
Pada awalnya, saya merasakan bahwa
berenang, merupakan suatu kemahiran yang tidak semua orang bisa melakukannya.
Anggapan ini saya simpulkan, karena berkaca kepada pengalaman Papa dan Mama
saya, keduanya dari kecil sampai saya
memasuki usia ke 24 ditahun 2015 ini, mereka sama sekali tidak tahu bagaimana
caranya berenang di air laut dan air tawar. Kalau mengambil contoh dari
pengalaman Mama saya, wajar saja kalau Mama saya memang tidak bisa berenang,
karena kemahiran seseorang berenang, harus didukung dengan berbagai macam
faktor, salah satunya adalah tempat tinggal harus berdekatan dengan pantai.
Nah, ini dia yang menjadi kendalanya,
karena Mama saya yang bernama Hj Surimawati S.S, beliau menghabiskan masa
kecilnya, tinggal di Desa Binangga, Kecamatan Marawola, Kabupaten Sigi Provinsi Sulawesi Tengah. Jarak dari Desa
Binangga ke tempat rekreasi seperti pantai, cukup jauh. Sebut saja Pantai
Tumbelaka di Kelurahan Buluri, Kecamatan Ulujadi Kota Palu, berjarak kurang
lebih 15 Km. atau pantai Talise di Kota Palu yang berjarak 13 Km. rentangan
jarak yang jauh, antara tempat tinggal dengan pantai, membuat masyarakat yang
berada di Desa tersebut, kebanyakan tidak tahu bagaimana caranya menikmati
keindahan laut, dengan mengapungkan badan di air garam. Hal ini memang
realistis, apabila kalian mengomentarinya dengan asumsi, bahwa jarak 13-15 Km
itu masih tergolong dekat, “eeh, apa
biasanya kita to kalo nae motoro, jarak 50-60 Km itu kan waktu satu jam saja
kita so sampe,, (haha,, maaf gan, itu kalau orang Palu yang bicara,
logatnya seperti itu, mudah2an bisa dimengerti yaa,,ok next). Eh iiyomo rangaa, zaman sekarang jarak ratusan
kilometer saja, bisa ditempuh dengan waktu yang cepat. Coba bayangkan lebih
realistis lagi, bahwa kehidupan orang tua kita dahulu, jarak hanya 13 km itu
sudah termasuk jauh, karena harus ditempuh dengan jalan kaki. Kalau sekali
duakali menempuh jarak sejauh itu, sepertinya tidak apa-apa, tapi kalau
berkali-kali gimana,,? Bisa saja jadinya lutut sudah tidak tahu kalau dirinya
lutut, nanti kalau ditanya, “eeh,
betulkah kamu lutut,,? Lutut menjawab: bukan, saya tumit kaki.. :D”.
Kembali
kepembicaraan di atas, ternyata bukan hanya Desa tempat tinggal Mama saya saja,
yang posisinya jauh dari laut. Sebab, seluruh Desa yang berada di Kabupaten
Sigi, itu semuanya tidak berada dalam wilayah pesisir. Wajar saja, karena di
Provinsi Sulawesi Tengah, dari 11 Kabupaten dan 1 Kota, satu-satunya Kabupaten
yang tidak memiliki bahari, adalah Kabupaten Sigi. Kabupaten lainnya, seperti
Donggala yang terkenal dengan wisata pantai pasir putih Tanjung Karangnya,
Parigi Moutong yang terkenal dengan Teluk Tomini dengan predikit salah satu
jantung karang dunia, kalau tidak ada aral melintang, pada bulan September 2015
mendatang, akan di selenggarakan Festival Sail Tomini di daerah itu. Serta
menyusul Poso, Tojo Una-Una, Banggai, Banggai Kepulauan, Morowali, Morowali
Utara, Toli-Toli, Buol dan Kota Palu. Tapi jangan anggap remeh dulu, walaupun
tidak mempunyai bahari, Kabupaten Sigi menyimpan sejuta kekayaan wisata alam.
Bagi kalian yang gemar tour and travel, tidak akan ada penyesalan, kalau berkunjung ke Taman
Nasional Lore Lindu, didalamnya terdapat Cagar Alam megalitikum di Napu, Gunung
Nokilalaki, Danau Lindu. di sisi kiri
Kabupaten Sigi, terdapat Air Terjun Wera, air Panas Mantikole, serta wisata
paralayang di gunung Matantimali, dan lain sebagainya.
Jadi, dapat diambil kesimpulan kan,
kalau Mama saya tidak bisa berenang, itu lantaran kehidupan tempat tinggalnya
dulu, memang jauh dari laut. Namun, asumsi tinggal didaerah pantai dapat
membuat orang bisa berenang, memang ada benarnya. Akan tetapi, kenapa itu tidak
berlaku kepada bapak saya ya?, karena sejak dari kecil, bapak saya itu tinggal
di Desa Pesisir, tepatnya Desa Lemo, Kecamatan Ampibabo Kabupaten Parigi
Moutong Provinsi Sulawesi Tengah. Entah
apa yang menyebabkan, sampai beliau tidak bisa berenang, mungkin jarang keluar
rumah dan kurang pergaulan?, hmm, rasanya juga tidak ya, karena dari kecil,
Papa saya disenangi oleh anak-anak kampung dan teman sekolahannya pada waktu
itu. Yaa, disenangi lantaran rajin buat Pekerjaan Rumah (PR), Rajin
bersih-bersih lingkungan kelas, dan ada satu lagi yang mereka senangi pada Papa
saya dulu, yaitu beliau menjadi harapan teman-teman sekelasnya untuk mengisi
jadwal Muhadarah (ceramah singkat
seperti Kultum), menjelang apel pagi di lingkungan Madrasah Ibtidaiyah Alkhairaat Ampibabo, salah satu sekolah
pendidikan Agam Islam yang disebarkan oleh seorang Ulama dari Hadramaut, Yaman,
yakni Alm Habib Idrus bin Salim Aljufrie, pada tahun 1930 Masehi. Di Sulawesi
Tengah pendidikan keagamaan Alkhairaat,
menjadi dambaan bagi masyarakat.
Lantas, apa yang menyebabkan, Papa saya
sampai tidak bisa berenang?, jawabannya adalah Phobia, yaitu rasa takut berlebihan yang dialami oleh seseorang,
diakibatkan pernah mengalami hal menakutkan yang tidak diinginkan. Ceritanya
pada suatu sore, bersama teman-teman sepermainannya, Papa saya pergi
mandi-mandi di Pantai. Setibanya di tepi laut, anak-anak desa itu langsung
melompat dari batang pohon yang menjulang ke bagian tepi pantai bagian dalam,
namun masih bisa dijangkau dengan kaki untuk seukuran tinggi anak-anak umuran
10 tahun. Setelah mereka melompat, tanpa diajarkan secara khusus mengenai tehnik
berenang, mereka langsung bisa melakukannya, dengan menggerakan kedua kaki dan
mengibaskan tangan dilaut. Mungkin karena badan mereka yang masih ringan,
sehingga dapat mengapung dengan mudahnya di air garam. Itulah sebabnya, bagi
masyarakat yang tinggal di Pesisir pantai, mereka pandai berenang itu, memang
sudah terbiasa mandi di Laut sejak dari kecil.
Kemudian, semua anak-anak yang
berjumlahkan 5 orang itu, lompat ke air, nah apa yang terjadi dengan Papa
saya?, ketika Jun (panggilan Papa saya sewaktu kecil, nama aslinya ada Drs H
Narjun Bamid) melompat, dan seluruh badannya masuk kedalam air, ada satu hal
yang lalai dan berakibat fatal dilakukannya. Yaitu sewaktu melompat, beliau
mengucapkan kata “aku terbang”, saat
Papa saya mengucapkan kata itu, beliau mengucapkannya dengan teriakan suara
yang panjang, nadanya seperti ini, áaaku
terbaaaaa,,,, “, belum sampai menghabiskan sisa kata-kata tersebut, Jun
kecil sudah tercebur kedalam air, karena mengucapkannya terlalu panjang, Papa
saya tidak sempat untuk menutup mulutnya. Sehingga air asin dengan mudah masuk
kedalam tenggorokannya. Dalam keadaan tertekan seperti itu, perasaan panik
mulai menghapiri, was-was dan takut terasa begitu mencekam, karena pandangan
saat itu kabur dan perih, nafasnya mulai sesak, walaupun pada saat itu, kakinya
menyentuh dasar tepi laut.
Secara spontan! teman-teman bapak Papa
saya langsung cepat menolong, dan menariknya untuk cepat berada di tepi Pantai.
Tidak ada yang terlalu dikhawatirkan pada kondisi Papa saya, air asin yang
masuk memang tidak bisa dikeluarkan, dan Papa saya dalam keadaan sadar, hanya
dalam keadaan pucat yang tampak dari perubahan bibirnya menjadi warna putih.
Setelah beberapa menit dilalui dengan suasana hening, tidak lama kemudian, tawa
dari salah satu anak memecahkan semua tawa teman-temannya. Spontan, Papa saya
juga ikut ketawa, tapi gerakan bibirnya hanya mengecil dan lesung pipinya tidak
melebar, kalau orang Palu bilang “Nongiri
Mpoi (ketawa asam)”. Setelah semua tawa berakhir, Papa saya berpesan, agar
kejadian ini jangan sampai diketahui oleh masyarakat kampung, terutama kedua
orang tuanya.
Dikarenakan kejadian yang tidak
mengenakkan dimasa kecil itulah, sampai saat ini, Papa saya masih saja Phobia,terhadapa air asin. Tapi anehnya, Papa saya merupakan
salah satu orang tua yang hobi “nasanjayo
(sejenis Traveller kalau bahasa kerennya)”, beliau merekam dirinya
berceramah, dengan dibantu oleh rekannya. Beliau menyampaikan Tausiyah Islami, bertemakan sesuai dengan
Background pemandangan alam. Entah
itu panorama Gunung, Tebing, Goa, Sungai, Hutan, dan “Pantai”. Hasil dari
rekaman tersebut, akan di upload ke Youtube, dengan harapan agar jejaring
social tersebut dapat menjadi alternative dakwah, secara cepat kepada orang
banyak. Selain itu, berharap agar banyak likers. Hehehe.
Nah guys, jadi kalian dapat simpulkan
kan mengapa sampai saat ini, saya belum bisa berenang. Karena, setelah Papa dan
Mama saya menikah, pada bulan Mei tahun 1989 lalu, maka mereka memilih tinggal di Kampung
halaman mama saya, sehingga saya dibesarkan disana, yang notabenenya jauh dari
laut. Alasan selanjutnya, karena rasa
trauma yang dialami Papa saya dulu, akhirnya saya tidak dipernah diizinkan,
kalau ada teman-teman yang mau ngajak rekreasi, kalaupun dizinkan, Papa saya
pasti akan ikut, biasanya beliau merogoh
kocek, demi menyeweakan pakaian
pelampung. Jadinya, saya harus nahan diri, dari ejekan teman-teman pada waktu
itu.
Nah, bagaimana caranya sampai saya bisa
berenang?, ini kuceritakan kisahku, ikuti terus ya dalam setiap kata-kata,
lembar ke lembar. Mantap (y).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mari budayakan komentar yang tertib dan sopan. . .