Minggu, 03 Mei 2015

Renang Gaya Batu (Sesi 1)



Gara-Gara Ortu Phobia Air Laut

Pada awalnya, saya merasakan bahwa berenang, merupakan suatu kemahiran yang tidak semua orang bisa melakukannya. Anggapan ini saya simpulkan, karena berkaca kepada pengalaman Papa dan Mama saya, keduanya dari kecil sampai  saya memasuki usia ke 24 ditahun 2015 ini, mereka sama sekali tidak tahu bagaimana caranya berenang di air laut dan air tawar. Kalau mengambil contoh dari pengalaman Mama saya, wajar saja kalau Mama saya memang tidak bisa berenang, karena kemahiran seseorang berenang, harus didukung dengan berbagai macam faktor, salah satunya adalah tempat tinggal harus berdekatan dengan pantai.
Nah, ini dia yang menjadi kendalanya, karena Mama saya yang bernama Hj Surimawati S.S, beliau menghabiskan masa kecilnya, tinggal di Desa Binangga, Kecamatan Marawola, Kabupaten  Sigi Provinsi Sulawesi Tengah. Jarak dari Desa Binangga ke tempat rekreasi seperti pantai, cukup jauh. Sebut saja Pantai Tumbelaka di Kelurahan Buluri, Kecamatan Ulujadi Kota Palu, berjarak kurang lebih 15 Km. atau pantai Talise di Kota Palu yang berjarak 13 Km. rentangan jarak yang jauh, antara tempat tinggal dengan pantai, membuat masyarakat yang berada di Desa tersebut, kebanyakan tidak tahu bagaimana caranya menikmati keindahan laut, dengan mengapungkan badan di air garam. Hal ini memang realistis, apabila kalian mengomentarinya dengan asumsi, bahwa jarak 13-15 Km itu masih tergolong dekat, “eeh, apa biasanya kita to kalo nae motoro, jarak 50-60 Km itu kan waktu satu jam saja kita so sampe,, (haha,, maaf gan, itu kalau orang Palu yang bicara, logatnya seperti itu, mudah2an bisa dimengerti yaa,,ok next). Eh iiyomo rangaa, zaman sekarang jarak ratusan kilometer saja, bisa ditempuh dengan waktu yang cepat. Coba bayangkan lebih realistis lagi, bahwa kehidupan orang tua kita dahulu, jarak hanya 13 km itu sudah termasuk jauh, karena harus ditempuh dengan jalan kaki. Kalau sekali duakali menempuh jarak sejauh itu, sepertinya tidak apa-apa, tapi kalau berkali-kali gimana,,? Bisa saja jadinya lutut sudah tidak tahu kalau dirinya lutut, nanti kalau ditanya, “eeh, betulkah kamu lutut,,? Lutut menjawab: bukan, saya tumit kaki.. :D”.
            Kembali kepembicaraan di atas, ternyata bukan hanya Desa tempat tinggal Mama saya saja, yang posisinya jauh dari laut. Sebab, seluruh Desa yang berada di Kabupaten Sigi, itu semuanya tidak berada dalam wilayah pesisir. Wajar saja, karena di Provinsi Sulawesi Tengah, dari 11 Kabupaten dan 1 Kota, satu-satunya Kabupaten yang tidak memiliki bahari, adalah Kabupaten Sigi. Kabupaten lainnya, seperti Donggala yang terkenal dengan wisata pantai pasir putih Tanjung Karangnya, Parigi Moutong yang terkenal dengan Teluk Tomini dengan predikit salah satu jantung karang dunia, kalau tidak ada aral melintang, pada bulan September 2015 mendatang, akan di selenggarakan Festival Sail Tomini di daerah itu. Serta menyusul Poso, Tojo Una-Una, Banggai, Banggai Kepulauan, Morowali, Morowali Utara, Toli-Toli, Buol dan Kota Palu. Tapi jangan anggap remeh dulu, walaupun tidak mempunyai bahari, Kabupaten Sigi menyimpan sejuta kekayaan wisata alam. Bagi kalian yang gemar tour and travel, tidak  akan ada penyesalan, kalau berkunjung ke Taman Nasional Lore Lindu, didalamnya terdapat Cagar Alam megalitikum di Napu, Gunung Nokilalaki, Danau Lindu.  di sisi kiri Kabupaten Sigi, terdapat Air Terjun Wera, air Panas Mantikole, serta wisata paralayang di gunung Matantimali, dan lain sebagainya.
Jadi, dapat diambil kesimpulan kan, kalau Mama saya tidak bisa berenang, itu lantaran kehidupan tempat tinggalnya dulu, memang jauh dari laut. Namun, asumsi tinggal didaerah pantai dapat membuat orang bisa berenang, memang ada benarnya. Akan tetapi, kenapa itu tidak berlaku kepada bapak saya ya?, karena sejak dari kecil, bapak saya itu tinggal di Desa Pesisir, tepatnya Desa Lemo, Kecamatan Ampibabo Kabupaten Parigi Moutong  Provinsi Sulawesi Tengah. Entah apa yang menyebabkan, sampai beliau tidak bisa berenang, mungkin jarang keluar rumah dan kurang pergaulan?, hmm, rasanya juga tidak ya, karena dari kecil, Papa saya disenangi oleh anak-anak kampung dan teman sekolahannya pada waktu itu. Yaa, disenangi lantaran rajin buat Pekerjaan Rumah (PR), Rajin bersih-bersih lingkungan kelas, dan ada satu lagi yang mereka senangi pada Papa saya dulu, yaitu beliau menjadi harapan teman-teman sekelasnya untuk mengisi jadwal Muhadarah (ceramah singkat seperti Kultum), menjelang apel pagi di lingkungan Madrasah Ibtidaiyah Alkhairaat Ampibabo, salah satu sekolah pendidikan Agam Islam yang disebarkan oleh seorang Ulama dari Hadramaut, Yaman, yakni Alm Habib Idrus bin Salim Aljufrie, pada tahun 1930 Masehi. Di Sulawesi Tengah pendidikan keagamaan Alkhairaat, menjadi dambaan bagi masyarakat.
Lantas, apa yang menyebabkan, Papa saya sampai tidak bisa berenang?, jawabannya adalah Phobia, yaitu rasa takut berlebihan yang dialami oleh seseorang, diakibatkan pernah mengalami hal menakutkan yang tidak diinginkan. Ceritanya pada suatu sore, bersama teman-teman sepermainannya, Papa saya pergi mandi-mandi di Pantai. Setibanya di tepi laut, anak-anak desa itu langsung melompat dari batang pohon yang menjulang ke bagian tepi pantai bagian dalam, namun masih bisa dijangkau dengan kaki untuk seukuran tinggi anak-anak umuran 10 tahun. Setelah mereka melompat, tanpa diajarkan secara khusus mengenai tehnik berenang, mereka langsung bisa melakukannya, dengan menggerakan kedua kaki dan mengibaskan tangan dilaut. Mungkin karena badan mereka yang masih ringan, sehingga dapat mengapung dengan mudahnya di air garam. Itulah sebabnya, bagi masyarakat yang tinggal di Pesisir pantai, mereka pandai berenang itu, memang sudah terbiasa mandi di Laut sejak dari kecil.
Kemudian, semua anak-anak yang berjumlahkan 5 orang itu, lompat ke air, nah apa yang terjadi dengan Papa saya?, ketika Jun (panggilan Papa saya sewaktu kecil, nama aslinya ada Drs H Narjun Bamid) melompat, dan seluruh badannya masuk kedalam air, ada satu hal yang lalai dan berakibat fatal dilakukannya. Yaitu sewaktu melompat, beliau mengucapkan kata “aku terbang”, saat Papa saya mengucapkan kata itu, beliau mengucapkannya dengan teriakan suara yang panjang, nadanya seperti ini, áaaku terbaaaaa,,,, “, belum sampai menghabiskan sisa kata-kata tersebut, Jun kecil sudah tercebur kedalam air, karena mengucapkannya terlalu panjang, Papa saya tidak sempat untuk menutup mulutnya. Sehingga air asin dengan mudah masuk kedalam tenggorokannya. Dalam keadaan tertekan seperti itu, perasaan panik mulai menghapiri, was-was dan takut terasa begitu mencekam, karena pandangan saat itu kabur dan perih, nafasnya mulai sesak, walaupun pada saat itu, kakinya menyentuh dasar tepi laut.
Secara spontan! teman-teman bapak Papa saya langsung cepat menolong, dan menariknya untuk cepat berada di tepi Pantai. Tidak ada yang terlalu dikhawatirkan pada kondisi Papa saya, air asin yang masuk memang tidak bisa dikeluarkan, dan Papa saya dalam keadaan sadar, hanya dalam keadaan pucat yang tampak dari perubahan bibirnya menjadi warna putih. Setelah beberapa menit dilalui dengan suasana hening, tidak lama kemudian, tawa dari salah satu anak memecahkan semua tawa teman-temannya. Spontan, Papa saya juga ikut ketawa, tapi gerakan bibirnya hanya mengecil dan lesung pipinya tidak melebar, kalau orang Palu bilang “Nongiri Mpoi (ketawa asam)”. Setelah semua tawa berakhir, Papa saya berpesan, agar kejadian ini jangan sampai diketahui oleh masyarakat kampung, terutama kedua orang tuanya.
Dikarenakan kejadian yang tidak mengenakkan dimasa kecil itulah, sampai saat ini, Papa saya masih saja Phobia,terhadapa  air asin. Tapi anehnya, Papa saya merupakan salah satu orang tua yang hobi “nasanjayo (sejenis Traveller kalau bahasa kerennya)”, beliau merekam dirinya berceramah, dengan dibantu oleh rekannya. Beliau menyampaikan Tausiyah Islami, bertemakan sesuai dengan Background pemandangan alam. Entah itu panorama Gunung, Tebing, Goa, Sungai, Hutan, dan “Pantai”. Hasil dari rekaman tersebut, akan di upload ke Youtube, dengan harapan agar jejaring social tersebut dapat menjadi alternative dakwah, secara cepat kepada orang banyak. Selain itu, berharap agar banyak likers. Hehehe.
Nah guys, jadi kalian dapat simpulkan kan mengapa sampai saat ini, saya belum bisa berenang. Karena, setelah Papa dan Mama saya menikah, pada bulan Mei tahun 1989 lalu,  maka mereka memilih tinggal di Kampung halaman mama saya, sehingga saya dibesarkan disana, yang notabenenya jauh dari laut.  Alasan selanjutnya, karena rasa trauma yang dialami Papa saya dulu, akhirnya saya tidak dipernah diizinkan, kalau ada teman-teman yang mau ngajak rekreasi, kalaupun dizinkan, Papa saya pasti akan ikut, biasanya beliau merogoh  kocek, demi menyeweakan  pakaian pelampung. Jadinya, saya harus nahan diri, dari ejekan teman-teman pada waktu itu.   
Nah, bagaimana caranya sampai saya bisa berenang?, ini kuceritakan kisahku, ikuti terus ya dalam setiap kata-kata, lembar ke lembar. Mantap (y).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar




mari budayakan komentar yang tertib dan sopan. . .